|
|||||||||||||
|
|||||||||||||
Indonesia | English | |||||||||||||
Shalom,.. perkenalkan nama saya Martua Regen Marpaung, orang lebih mengenalku dengan nama Regen. Saya lahir 26 April 1986 di kota Jakarta. Lahir dan besar dari keluarga Kristen, namun lingkungan pergaulan yang salah membuat saya masuk penjara. Pada 6 Juni 2008 saya harus �meninggalkan rumah dan menginap� di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Kriminal atas kasus senjata tajam. Sebelumnya saya ditahan di Polsek Matraman selama 40 hari. Selama 7 bulan saya menghuni LP. Cipinang Kriminal dan dibebaskan pada 8 Januari 2009. Di dalam penjara saya tidak merasa bersalah dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Gereja saya ikuti tidak dengan sepenuh hati alias pura-pura. Suatu ketika saya dilayani oleh Bp. Dean Munthe dari Yasindo dan saya ingin tahu lebih jauh tentang Yasindo dan meminta alamatnya. Ketika bebas saya pulang ke rumah orang tua dan pamit ingin masuk Yasindo. Saat itu juga saya datang ke kantor Yasindo di Jl. Duri Nirmala, saya tiba jam 20:00 atau jam 8 malam. Dari kantor Yasindo saya naik angkot menuju Asrama Resosialisasi yang ada di Puspitek-Serpong, dan tiba jam 23:30. Pagi harinya, ternyata di Asrama Yasindo diadakan Doa Pagi yang dimulai jam 04:30 wib hingga 06:00 wib. Jujur saya katakan, kegiatan ini sangat mengganggu, namun demikian saya tetap mengikuti semua kegiatan yang ada di asrama Yasindo tentunya dengan �dibungkus� kemunafikan. Selama 1 tahun saya tinggal di asrama Yasindo, dan selama itu juga saya mengkonsumsi obat Dexpetropan. Saya mengkonsumsi Dexpetropan 90 butir/hari; 30 butir pagi, 30 butir siang dan 30 butir malam. Pengaruh obat Dexpetropan membuat saya berhalusinasi yang akhirnya mengganggu penghuni asrama lainnya dan semua penghuni asrama menganggap saya mengalami gangguan kejiwaan. Oleh karenanya bapak asrama mengirimkan saya ke Yayasan Embun Kasih yang ada di Bekasi-Jawa Barat. Di yayasan ini saya dikumpulkan dengan orang-orang yang juga mengalami gangguan kejiwaan. Di sini semua penghuni baru kakinya wajib di rantai. Pada hari ke 2 saya dirantai, saat semua penghuni bersiap-siap untuk sarapan pagi, layaknya penjahat kriminal saya mengamati setiap sudut ruangan kalau-kalau ada celah untuk melarikan diri. Saat akan makan, rantai kami dilepas, dan kesempatan ini benar-benar saya gunakan untuk melarikan diri. Dalam pelarian itu saya bingung dan tidak punya tujuan, akhirnya saya kembali ke asrama Yasindo, menghadap bapak asrama supaya diberikan kesempatan sekali lagi menjadi penghuni asrama. Dengan berbagai kesepakatan dan perjanjian, akhirnya saya diterima kembali. Di asrama dengan sembunyi-sembunyi saya tetap mengkonsumsi Dexpetropan. Serapat-rapatnya bangkai ditutupi, toh akhirnya akan tercium juga. Agaknya pepatah ini menjadi akhir kebohongan dan kemunafikan yang saya lakukan selama 7 bulan setelah diterima kembali. Bapak asrama memeriksa setiap jengkal kamar dan mendapati satu buah toples yang berisi 1000 butir Dexpetropan. Karena saya melanggar, maka saya dikirim kembali ke Yayasan Embun Kasih. Kedatangan saya yang ke 2 di Yayasan Embun Kasih, disambut dengan rantai. Kali ini saya bebar-benar berada dalam pengawasan penuh dengan kedua kaki dirantai. Setelah 5 hari saya mulai berpura-pura baik dan minta rantai yang mengikat kaki saya dilepaskan, tetapi tidak dikabulkan. Saya tak patah arang, dalam hati saya berucap: tidak percuma saya �alumni� Cipinang Kriminal. Kali ini saya menggunakan strategi berteriak-teriak, dan memohon agar diberikesempatan untuk mandi, itu artinya gembok yang merantai kaki dibuka. Melalui kamar mandi inilah saya kabur lagi setelah lebih dahulu mendorong salah satu kusen jendela yang keropos. Teriakan kabur, kabur ada yang kabur, melepas pelarian saya yang ke 2 dari Embun Kasih dan pulang ke rumah orang tua saya. Di rumah dan di Gereja, saya menjadi bahan pergunjingan. Akhirnya gembala sidang kami meminta kepada keluarga supaya saya tinggal di Gereja. Di Gereja selama 4 bulan saya ketahuan lagi mengkonsumsi Dexpetropan. Kali ini Tuhan memakai seorang sahabat saya semasa kecil. Seorang sahabat ketika kami sama-sama Sekolah Minggu bernama Mesah Lukas. Dengan kasih dan pengorbanannya, dia menghantar saya kembali ke Embun Kasih. Mobil dan semua biaya pengobatan selama di Embun Kasih dilunasi olehnya, yang belakangan saya ketahui kalau sahabatku Mesah Lukas membayar dengan gaji pertamanya. Di moment malam Natal 2010, saat kami penghuni Embun Kasih merayakan Natal, saya merasakan jamahan Tuhan begitu luar biasa. Tuhan mengingatkan saya, banyak orang yang mengasihi saya. Bagaimana Yasindo berulangkali menunjukkan kasihnya dan memberi kesempatan sekalipun berulangkali pula saya melanggar. Bagaimana sahabat saya Mesah, dengan gaji pertamanya rela digunakan untuk membayar biaya pengobatan saya. Dan terlebih lagi, bagaimana Tuhan dengan kasih dan kesabaran-Nya membukakan pintu pengampunan selebar-lebarnya bagi saya. Kalau orang begitu peduli, kalau Tuhan begitu mengasihi saya, mengapa saya justru menyia-nyiakan hidup dengan obat-obatan. Di malam Natal itu saya mengambil keputusan untuk bertobat sungguh-sungguh. Dalam doaku terucap; kalau Tuhan Yesus memberiku kesempatan sembuh, kupersembahkan diri ini untuk melayani Tuhan. |
|||||||||||||
Kembali | |||||||||||||